Skip to main content

Politik islam


Aspek politik dari Islam berasal dari Qur'an, dan Sunnah (ucapan dan perilaku Nabi Muhammad), sejarah Muslim, dan elemen gerakan politik baik di dalam ataupun di luar Islam. Konsep politik tradisional dalam Islam antara lain kepemimpinan oleh penerus Nabi yang disebut sebagai Kalifah (Imam dalam Syiah); pentingnya mengikuti hukum Syariah; kewajiban bagi pemimpin untuk berkonsultasi dengan dewan Syura dalam memerintah negara; dan kewajiban menggulingkan pemimpin yang tidak adil.

Perubahan luar biasa terjadi di Dunia Islam, ketika Kekalifahan Utsmanniyah Turki runtuh dan dibubarkan pada 1924. Selama abad ke-19 dan ke-20, tema umum dalam politik Islam adalah perlawanan terhadap imperialisme Barat, dan penerapan hukum syariah dengan cara apapun, baik secara demokratis maupun secara perjuangan militer. Kekalahan tentara Arab dalam Perang Enam Hari, berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet dan komunisme sebagai alternatif, telah meningkatkan daya tarik gerakan-gerakan Islam, seperti Islamisme, Fundamentalisme Islam dan Demokrasi Islam, khususnya dalam konteks ketidakpuasan terhadap kepemimpinan sekuler di Dunia Islam.

A. Sejarah

Asal mula Islam sebagai gerakan politik telah dimulai sejak zaman nabi Muhammad. Pada 622 M, sebagai pengakuan atas klaim kenabiannya, Muhammad diundang untuk memimpin kota Medinah. Pada saat itu dua kaum yang menguasai kota yaitu Arab Bani Aus dan Bani Khazraj, berselisih. Warga Medinah menganggap Muhammad sebagai orang luar yang netral, adil, dan imparsial, diharapkan dapat mendamaikan konflik ini. Muhammad dan pengikutnya hijrah ke Medinah, di mana Muhammad menyusun Piagam Madinah. Dokumen ini mengangkat Muhammad sebagai pemimpin kota sekaligus mengakuinya sebagai rasul Allah. Hukum yang diterapkan Muhammad pada saat berkuasa berdasarkan Quran dan Sunnah (perilaku yang dicontohkan Muhammad), yang kemudian dianggap kaum Muslim sebagai Syariah atau hukum Islam, yang kini ingin ditegakkan oleh gerakan Islam hingga kini. Muhammad mendapatkan banyak pengikut dan membentuk tentara. Pengaruhnya kemudian meluas dan menaklukkan kota asalnya Mekkah, dan kemudian menyebar ke seluruh Jazirah Arab berkat kombinasi diplomasi dan penaklukan militer.

Kini, banyak gerakan Islamisme atau Partai Islam tumbuh di kebanyakan negara Demokrasi Islam atau negara dengan mayoritas berpenduduk Muslim. Banyak pula kelompok Islam militan yang beroperasi di beberapa bagian dunia. Istilah kontroversial Islam fundamentalis juga disebutkan oleh beberapa non-Muslim untuk menggambarkan aspirasi keagamaan dan politik dari kelompok Islam militan. Kini, istilah demokrasi Islam dan fundamentalisme Islam, kerap tercampur aduk dalam beraneka ragam kelompok yang mengatasnamakan Islam dan memperjuangkan gerakan Islam, yang masing-masing memiliki sejarah, ideologi, dan konteks yang beraneka ragam pula.


B. Negara Islam di Madinah

Piagam Madinah disusun oleh Muhammad, nabi dalam agama Islam. Piagam ini mengandung kesepakatan formal antara Muhammad dengan berbagai suku dan kaum berpengaruh yang menghuni Yathrib (kemudian dinamai Medinah), termasuk di antaranya kaum Muslim, Yahudi, Kristen dan kaum Pagan. Konstitusi ini membentuk dasar hukum pertama Negara Islam. Dokumen ini disusun dengan perhatian khusus untuk mengakhiri ketegangan dan konflik antar suku dan kaum (klan), terutama antara Banu Aus dan Bani Khazraj di Medinah. Hukum ini mencakup sekian banyak hak dan kewajiban bagi komunitas Muslim, Yahudi, Kristen, dan Pagan di Medinah, dan mempersatukannya dalam satu komunitas yang disebut Ummah.


C. Politik Islam di Indonesia

Sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa lampau dan mungkin hingga menjelang reformasi. Pertama, Islam merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik, dan menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'. Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'. Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk menempatkan peran Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di Indonesia. Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi mendasarkan diri pada kesamaan agama, tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan demikian, agama menjadi milik pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal. Kemudian setelah itu, umat Islam harus melakukan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara koeksistensif dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia.

Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, mencari bentuk teoretik kontemporer dari konsepsi Islam politik. Kedua, menelusuri pertumbuhan, perkembangan, dan pasang surut Islam politik di Indonesia. Ketiga, mencari rumusan format politik Islam atau Islam politik baru di Indonesia.
Islam akan bisa menjadi salah satu dari kekuatan politik yang sangat berarti bagi dunia menjelang tahun 2000. Kalimat itu merupakan pernyataan W Montgomery Watt, pengamat Islam bangsa Amerika yang bernada optimistik. Salah satu alasannya, menurut Watt adalah tradisi Islam yang tidak memisahkan antara politik dan agama.

Konseptualisasi Islam kontemporer, setidaknya dapat dikelompokkan pada dua bentuk kenegaraan Islam. Pertama, konseptualisasi yang diwakili oleh Al-Maududi yang bercorak ideologis dan formalistik. Kedua, kekuatan konseptualisasi Ali Abdul Raziq yang dengan interpretasinya terhadap realitas historis mengubah corak formalistik Islam menjadi berwajah kultural dan komplementer.


D. Periode awal

Pada periode awal, Islam di Indonesia menjelmakan sebagai kekuatan rakyat yang teguh melalui keikutsertaan umat Islam dalam Sarekat Dagang Islam dan kemudian di Sarekat Islam. SI dianggap sebagai penjelmaan Islam di dalam organisasi modern pertama, tetapi di dalamnya tidak ada watak ideologis, bahkan yang terlihat adalah watak kultural tahap awal. Di satu pihak, SI mengembangkan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam, di pihak lain SI menampakkan sebagai mitos. SI menjadi tumpuan masyarakat sebagai 'Ratu Adil' yang merupakan cita-cita pemberontakan akibat penjajahan dan kemiskinan dalam masa itu. Umat waktu itu menginginkan lahirnya satu kerajaan utopis, tetapi mereka tidak tahu bagaimana menuju ke sana dan tidak tahu persis apa yang harus mereka lakukan.

Watak kultural ini sama sekali belum mempunyai muatan ideologis, meski kecerdasan akan kesatuan sebagai bangsa telah muncul. Wawasan kebangsaan yang dimiliki SI sejak dini perjuangan merupakan benang merah yang senantiasa ada dalam perjuangan organisasi masyarakat dan partai politik yang muncul dengan bendera Islam hingga kini.

Pada kenyataannya, muatan wawasan kebangsaan memang lebih dahulu muncul daripada aspirasi ideologis Islam. Kelahiran organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dan lain-lain pada mulanya merupakan gerakan kultural. Politik masih mempunyai arti yang luas sebagai upaya bersama untuk mencerdaskan umat, membangun kesejahteraan mereka, dan mengupayakan pemasyarakatan ajaran-ajaran Islam, dan karena itu keterlibatan mereka dalam suatu kerangka kebangsaan semata-mata ingin menghilangkan penjajahan.

Pemikiran ideologis Islam baru muncul kemudian setelah berbagai komponen bangsa ini mendirikan organisasi-organisasi politik di sekitar tahun 1930-an. Munculnya MIAI, GAPI, dan lain-lain dalam Majelis Rakyat Indonesia (MRI) misalnya, telah memunculkan ide-ide masa depan Indonesia, yaitu tuntutan Indonesia berparlemen. Pemikiran ideologis itu misalnya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana. Seorang juru bicara MIAI, Wiondoamiseno, mendukung Indonesia berparlemen dengan catatan bahwa parlemen itu harus "berlandaskan Isam" tanpa menjelaskan apa maksudnya, apalagi mekanismenya. Menurut Deliar Noer, pernyataan itu hanya mencerminkan kecurigaan, khawatir kalau-kalau pemikiran dan cita-cita kalangan masing-masing akan diabaikan oleh kelompok lain.

Artikulasi pemikiran ideologis ini muncul lebih sistematik ketika GAPI menyusun suatu memorandum mengenai konstitusi Indonesia masa depan, MIAI mengatakan bahwa ia mendukung rencana GAPI dengan mengharapkan agar kepala negara Indonesia adalah beragama Islam, suatu dua pertiga anggota kabinet terdiri dari orang-orang Islam, suatu departemen agama haruslah didirikan, sedangkan bendera merah putih harus disertai lambang bulan sabit dan bintang. Meskipun masih terkesan vulgar, formal dan dangkal, tetapi perkembangan pemikiran ideologis Islam telah muncul dan perkembangan itu akan menentukan corak politik Islam selanjutnya.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, perdebatan dalam Badan Penyelidik melibatkan pemimpin Islam pada perdebatan sengit tentang konstitusi negara. Kompromi yang membawa kepada kemenangan Islam hampir saja diraih bila saja tidak ada upaya-upaya lobbyingI yang dilakukan Muhammad Hatta dengan pemimpin Islam untuk merelakan penghapusan "tujuh kata" dalam Mukaddimah UUD 1945. Penghapusan tujuh kata yang penting dan diperdebatkan secara mendalam itu hanya dihadapi dengan "kepentingan keutuhan nasional". Dan dari sana dapat diyakini bahwa corak idologis Islam di Indonesia lain sama sekali, dengan konsepsi ideologi Islam menurut Maududi, misalnya. Sejak semula, muatan nasionalisme yang diberi warna pluralisme menjadikan Islam tampil secara low profile dalam bentuknya yang paling keras sekalipun.

Pada perkembangan berikutnya, kekuatan ideologis Islam menempatkan posisinya pada kedudukan partai politik Islam yang ternyata tidak membawa perubahan kualitatif apapun dalam perkembangan Indonesia modern. Kehadiran partai politik Islam di masa setelah kemerdekaan selalu ditandai dengan beragamnya aspirasi politik dari "partai-partai Islam", sehingga pada gilirannya partai politik Islam itu berjalan sendiri-sendiri. Karena itu sesungguhnya tidak dapat dilakukan penjumlahan dari perolehan suara dalam pemilihan umum sebagai "kekuatan Islam". Itulah yang terjadi pada pemilu 1955, juga setelah masa Orde Baru 1971.

PPP yang merupakan bentukan pemerintah Orde Baru untuk fungsinya berbagai organisasi politik Islam yang praktis telah mengalami penciutan peran, mungkin pernah menikmati "persatuan" kumulatif dari segi ide dan kebijaksanaan politik pada tahun 1977, ketika PPP dianggap sebagai kekuatan oposisi yang potensial bagi pemerintahan Soeharto. Tetapi sejarah politik Islam mencatat, bahwa lagi-lagi perubahan kualitatif tidak pernah dicapai. Bahkan dengan adanya partai-partai politik Islam itu menempatkan umat Islam dalam posisi oposan dan menjadi kekuatan minoritas dalam mayoritas. Keluarnya NU dari PPP merupakan ide cemerlang untuk keluar dari lingkaran setan dan mencoba mengalihkan persepsi politik Islam sebagai tidak sekadar partai politik. Upaya NU memperoleh momentum dengan ditetapkannya UU Orpol/Ormas baru yang mengharuskan setiap partai politik dan organisasi kemasyarakatan menggunakan asas tunggal Pancasila.
Pasang surut partai politik Islam dapat dibaca dalam kerangka yang digunakan Hudson sebagai pasang surut pengaruh politik pemimpin agama. Tetapi sebagaimana dikemukakan Burhan D Magenda, ada perubahan format politik yang dibawakan oleh pemimpin agama yang justru menunjukkan perkembangan yang tak terduga sebelumnya.

Comments

Popular posts from this blog

CHINA SISTEM PEMERINTAHAN DAN BENTUK NEGARA

DOSEN PENGASUH : KHOTAMI, S.Sos., M.Si MATA KULIAH : PEMERINTAHAN NASIONAL BENTUK NEGARA DAN BENTUK PEMERINTAHAN NEGARA CHINA DIGO ANUGRAH 167310640 YOGA UTOMO 167310664 JANUANTO 167310626 LIRA FITRIANI 167310670 INDAH NURMALA 167310682 RESKI MULANA 167310678 VIA MEISELLY 167310689 NANDIO MULIA 167310679 VIVI FITRIANI 167310668 M. HAFIS 167310666 DEDRI YANTO 167310620 PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS ISLAM RIAU TAHUN AJARAN 2016/2017 BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang China merupakan sumber peradaban bagi banyak bangsa yang hidup di Asia Timur, seperti Korea, Jepang dan Vietnam yang berada dalam lingkaran budaya China. Namun tidak sampai di sana saja pengaruh China, karena pancaran cahaya peradaban tersebut juga mencapa

Isi dan Sistematika Al-quran

Al-quran yang menjadi sumber nilai dan norma umat Islam itu terbagi ke dalam 30 juz (bagian), 114 surah (surat:bab) lebih dari 6000 ayat, 74.499 kata atau 325.345 huruf (atau lebih tepat dikatakan 325.245 suku kata kalau dilihat dari sudut pandang bahasa Indonesia). Al-quran tidak disusun secara kronologis. Lima ayat pertama diturunkan di gua Hira’ pada malam 17 Ramadhan tahun pertama sebelum Hijrah atau pada malam Nuzulul Quran ketika Nabi Muhammad berusia 40-41 tahun, sekarang terletak di surat al-Alaq (96):1-5. Ayat terakhir yang diturunkan di padang Arafah, ketika Nabi Muhammad berusia 63 tahun pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 Hijriah, kini terletak di surat Al-maidah (5):3. Al-quran yang terdiri dari 30 Juz , 114 surah, 6326 ayat itu, sistematikanya ditetapkan oleh Alla sendiri melalui malaikat Jibril yang disampaikan kepada RasulNya Muhammad. Allahlah yang menentukan kemana ayat yang turun kemudan disisipkan di antara ayat yang turun lebih dahulu. Sistematikanya

demokrasi indonesia 1965-1998

  BAB I   PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita mengenal bermacam-macam istilah demorasi. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi Terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasu yang menuru asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan atau berkuasa). Sesudah perang dunia II kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan Negara di dunial menurut suatu peneleitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka: “mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua system organisasi politik dan social yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh. Akan tetapi UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap am